Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Nama ini
merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa
yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa
yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik. Tetapi ada
pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut
kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau
Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin
berkurang.
Orang Batak adalah penutur bahasa
Austronesia namun
tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di
Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa
orang yang berbahasa Austronesia dariTaiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu,
yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum). Peter Bellwood, Prehistory
of the Indo-Malaysian Archipelago, Revised edition, University of Hawaii
Press, Honolulu, 1997]</ref>Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang
ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru
bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan
kota dagang Barus,
di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan
oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi
sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad
ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya.
Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa
berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang
Minangkabau yang
mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni
mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga Natal[4].
Batak merupakan salah satu suku bangsa di
Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera
Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah:
Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen
dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga
menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini
jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Identitas Batak[sunting | sunting sumber]
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum
abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan
sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah
itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan,
atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan
sosial dan politik yang lebih besar.[5] Pendapat lain
mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak
baru terjadi pada zaman kolonial.[6] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah
"Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra
pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang
baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai
Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu
puncak di barat Danau Toba, adalah tempat
"kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga
menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun
dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi
keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang
tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan
transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting.
Menurut Pustaka
Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang
Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini
terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang
Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat
serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Masuknya Islam[sunting | sunting sumber]
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh
agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera
Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir,
masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang
Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang
melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah
meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[8] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan
Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas
masyarakat Mandailing dan Angkola.[9]Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam
mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena
pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur
Misionaris Kristen[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Sejarah masuknya
Kekristenan ke suku Batak
Pada tahun 1824, dua
misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan
kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[10] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di
dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua
minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan
pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan
ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.[11]
Pada tahun
1850, Dewan Injil
Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk
menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman
berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran
pengkristenan mereka.[12].
Misionaris pertama
asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861,
dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen.
Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba
oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama
diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada
tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada
tahun 1893. Menurut H. O. Voorma,
terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa
Batak.[13]
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung
sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus
van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak,
yakni Baligetanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan
sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20
telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[14]. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan
kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak
sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan
secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun
1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[15]
Gereja HKBP[sunting | sunting sumber]
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
telah berdiri di Balige pada bulan
September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan
pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja
Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[16]
Gereja Katolik di Tanah Batak[sunting | sunting sumber]
Misi Katolik masuk ke
Tanah Batak setelah Zending
Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang
padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya
berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang
sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga
pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh
baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah
Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.
Kepercayaan[sunting | sunting sumber]
Sebuah kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad ke-20.
Dimiliki oleh Museum Anak di Indianapolis.
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka
mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit
dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba
mengenal tiga konsep, yaitu:
·
Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh
karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang
di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut
akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi
dari sombaon yang menawannya.
·
Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua
orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama
dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
·
Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak
yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan
berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan
kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.[12]
Salam Khas Batak[sunting | sunting sumber]
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing
masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua
salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah.
Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang
menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas, Syalom Jala Gabe Ma Di Hita
Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam
Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi
Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Kekerabatan[sunting | sunting sumber]
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum
antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak,
yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis,
sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis
keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai
dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi
melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam
tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga,
kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap
vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis
yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap
perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam
bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok
dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar
kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman
terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu
marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan
Adat.
Rumah Adat Batak Toba
Falsafah dan sistem kemasyarakatan[sunting | sunting sumber]
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas
sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam
Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut
penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula
• Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) •
Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong
Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek,
Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu
• Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah
Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
·
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari
isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan
dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang
Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
·
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha
adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang
sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang,
walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian
tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua
orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara
semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
·
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang
mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi
paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak
boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem
kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat
kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi
Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus
menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang
Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti
orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata
krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu
disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme[sunting | sunting sumber]
Pejuang Batak
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi
dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah,
jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi
dipesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan
bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat
pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".[17] Dari sumber-sumber sekunder, Marco
Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat
"Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan
tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut,
namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò Da Conti (1395-1469),
seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun
1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan
masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak:
"Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus
kepada tetangga mereka ".[18][19]
Thomas
Stamford Raffles pada
1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi
daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.[20] Raffles menyatakan bahwa: "Suatu
hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua
untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan
hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur,
garam dan sedikit nasi".[21]
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz
Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn
mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut
"Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan
berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan
oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari
sebelumnya.[22] Namun hal ini terkadang
dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud
menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai
tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku
pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[23]
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun
1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di
mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi
paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa
kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan
aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian,
perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus
diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan
masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.[24]
Ida Pfeiffer mengunjungi
Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme
apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan
dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan
kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian
didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja,
selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging
kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya
dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk
mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".[25]
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda
melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[26] Rumor kanibalisme Batak bertahan
hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah
jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama
pendatang dalam masyarakat Batak.[27]
Tarombo[sunting | sunting
sumber]

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal
yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui
silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang
Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan
marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar
mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau
marga.
Kontroversi[sunting | sunting sumber]
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing sempat tidak menyebut dirinya sebagai
bagian dari suku Batak. Meski mayoritas masih mengakui dirinya bagian dari suku
Batak, wacana identitas itu sempat muncul disebabkan karena pada umumnya
kategori "Batak" dipandang primitif dan miskin oleh etnik lain masa
Orde Baru. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli
tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat
terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan
sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari
rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara
Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman,
yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing
(Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu.
Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal
dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan
afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim
bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara
masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas
Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain
besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan
bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya
dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin
disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam
Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi
Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000,
pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan
Angkola sebagai etnis Batak.
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar